Profil KH Zainudin MZ

KH Zainudin MZ, atau yang sering dikenal sebagai Da’i Sejuta Umat, adalah seorang tokoh agama, mubalig, dan pendakwah terkenal di Indonesia. Lahir pada 2 Januari 1960 di Jakarta, beliau dikenal luas karena dakwahnya yang memadukan ilmu agama dengan cara yang sederhana dan mudah diterima oleh masyarakat luas.

Beliau memulai pendidikan agamanya di pesantren dan kemudian melanjutkan pendidikan di beberapa lembaga pendidikan Islam. Keahliannya dalam bidang agama Islam, terutama dalam hal tafsir, hadits, dan fiqh, menjadikannya sebagai salah satu da'i yang dihormati.

Sejak muda, KH Zainudin MZ sudah aktif menyampaikan dakwah lewat berbagai media, termasuk radio dan televisi. Beliau menjadi ikon dakwah di Indonesia, dikenal dengan cara penyampaian yang khas, penuh semangat, dan mudah dipahami oleh berbagai kalangan. Salah satu acara terkenal yang pernah dipandu olehnya adalah "Dai Sejuta Umat" yang disiarkan di TVRI.

KH Zainudin MZ mendapat gelar "Dai Sejuta Umat" karena popularitasnya yang sangat besar di kalangan masyarakat. Beliau memiliki gaya dakwah yang menggabungkan motivasi kehidupan sehari-hari dengan pesan agama. Ceramahnya sering kali dipenuhi humor dan kisah-kisah yang memotivasi pendengar

Selain sebagai mubalig, KH Zainudin MZ juga dikenal aktif dalam kegiatan sosial dan pendidikan. Beliau banyak memberikan kontribusi dalam memajukan pendidikan Islam di Indonesia serta memberi inspirasi bagi banyak generasi muda untuk lebih memahami ajaran agama Islam secara mendalam.

KH Zainudin MZ menikah dan memiliki beberapa anak. Beliau dikenal sebagai sosok yang sederhana, rendah hati, dan dekat dengan masyarakat. Meskipun dikenal luas, beliau tetap menjaga kesederhanaan dalam hidup sehari-hari.

KH Zainudin MZ juga dikenal sebagai penulis buku-buku agama yang banyak dibaca oleh umat Islam. Buku-buku tersebut sering kali memberikan pencerahan dalam kehidupan spiritual dan motivasi hidup berlandaskan ajaran agama Islam.

KH Zainudin MZ sebelumnya diketahui mengalami masalah kesehatan yang cukup serius. Menurut informasi yang beredar, Beliau  menderita penyakit jantung dan sempat menjalani beberapa perawatan medis untuk kondisinya tersebut. Meskipun dalam beberapa kesempatan beliau tampak aktif berdakwah, kondisi kesehatan yang menurun membuat beliau membutuhkan perawatan lebih intensif. Penyakit jantung yang beliau derita menjadi faktor utama yang mempengaruhi kesehatan dan menyebabkan beliau meninggal dunia.

Setelah wafatnya, jenazah KH Zainudin MZ dishalatkan di Masjid Al-Azhar, Jakarta, yang juga merupakan tempat beliau sering berceramah. Jenazahnya kemudian dimakamkan di Pemakaman Karet Bivak, Jakarta, dengan prosesi pemakaman yang dihadiri oleh keluarga, sahabat, dan pengikut setia beliau.

Kabar wafatnya KH Zainudin MZ mengundang banyak reaksi dari masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam. Banyak tokoh agama, sahabat, dan pengikut beliau yang merasa kehilangan dan mengungkapkan rasa dukacita mereka melalui berbagai media sosial dan saluran komunikasi. Beliau dikenang sebagai seorang da’i yang tulus dalam mengajarkan agama Islam dan memberi inspirasi kepada banyak orang.

Meskipun sudah wafat, warisan dakwah dan ajaran beliau tetap hidup dalam ingatan umat. Beliau dikenal dengan ceramah-ceramah yang mengedepankan pesan moral dan kebajikan, serta pengajaran agama yang mudah dipahami oleh masyarakat umum. Salah satu karya besar beliau adalah acara dakwah yang diberi nama "Dai Sejuta Umat", yang menjadi salah satu program dakwah yang sangat populer pada masanya.

Wafatnya KH Zainudin MZ meninggalkan duka yang mendalam bagi umat Islam Indonesia, tetapi juga meninggalkan warisan yang akan terus dikenang dan diteruskan oleh generasi-generasi berikutnya.

KH. Abdullah Faqih Langitan

 KH. Abdullah Faqih Langitan adalah salah satu ulama besar dan tokoh penting dalam sejarah Islam di Indonesia, khususnya dalam kalangan pesantren. Beliau dikenal sebagai seorang kiai yang memiliki pengaruh besar di kalangan masyarakat pesantren, khususnya di wilayah Jawa Timur.

KH. Abdullah Faqih Langitan berasal dari keluarga yang sangat menghormati ilmu agama. Beliau lahir di Langitan, Tuban, Jawa Timur, dan lebih dikenal dengan nama "KH. Abdullah Faqih Langitan" sebagai identitas dari pesantren yang didirikannya. Langitan sendiri merupakan sebuah desa yang menjadi pusat pendidikan agama, terutama dalam bidang ilmu fiqh, tasawuf, dan ilmu-ilmu agama lainnya.

KH. Abdullah Faqih Langitan menimba ilmu agama sejak usia muda. Beliau belajar di berbagai pesantren ternama di Jawa, dan kemudian mendalami ilmu agama di beberapa ulama besar. Salah satu tempat yang sangat berpengaruh dalam pembentukan intelektualitasnya adalah pesantren yang ada di daerah Jawa Timur. Beliau juga mendapat bimbingan langsung dari sejumlah ulama dan kiai ternama.

Pendidikan awal beliau banyak didapatkan di lingkungan keluarganya yang sudah memiliki tradisi pesantren dan keturunan ulama.

Keluarga besar beliau berperan penting dalam memberikan dasar-dasar pengetahuan agama. Dalam konteks ini, KH. Abdullah Faqih Langitan memperoleh pendidikan dini dalam ilmu fikih, tafsir, hadis, dan aqidah yang diajarkan oleh para orang tua atau kiai di lingkungan keluarganya.

Sebagai seorang ulama yang sangat dihormati, KH. Abdullah Faqih Langitan kemudian melanjutkan pendidikannya ke beberapa pesantren besar di Jawa Timur, terutama pesantren-pesantren yang sudah memiliki reputasi tinggi dalam pengajaran ilmu agama. Di sini, beliau belajar di bawah bimbingan para kiai besar yang terkenal dengan kemampuan mereka dalam mengajarkan ilmu agama yang mendalam.

Beberapa pesantren yang dikenal memiliki pengaruh besar terhadap pendidikan beliau di antaranya adalah pesantren-pesantren yang ada di wilayah Jawa Timur. Namun, tidak semua detail mengenai pesantren tempat beliau belajar secara spesifik tercatat dalam sejarah.

Pendidikan KH. Abdullah Faqih Langitan sangat berfokus pada penguasaan kitab-kitab klasik (kitab kuning) yang menjadi rujukan utama dalam pesantren-pesantren tradisional. Kitab-kitab ini mencakup berbagai disiplin ilmu agama seperti fiqh (ilmu hukum Islam), tasawuf (ilmu kerohanian), aqidah (teologi Islam), dan hadis.

Kitab-kitab yang dipelajari oleh KH. Abdullah Faqih Langitan meliputi karya-karya ulama klasik yang digunakan dalam kurikulum pesantren, seperti:

  • Fathul Qarib dan Al-Muqaddimah dalam fiqh.
  • Al-Hikam dalam tasawuf.
  • Al-Bukhari dan Sahih Muslim dalam hadis.
  • Tafsir Ibnu Katsir dalam ilmu tafsir al-Qur'an.

Sebagai seorang santri, KH. Abdullah Faqih Langitan memiliki kemampuan mendalam dalam mengkaji kitab-kitab ini dan memahami pemikiran serta ajaran yang terkandung di dalamnya. Hal ini menjadi salah satu alasan mengapa beliau dihormati sebagai seorang ulama yang memiliki pemahaman luas tentang agama.

Selain itu KH. Abdullah Faqih Langitan juga mendapat bimbingan langsung dari sejumlah ulama besar yang terkenal pada zamannya. Dari para guru dan mentor inilah beliau mengasah pemahaman agamanya dan memperdalam ilmu dalam bidang fiqh, tasawuf, dan dakwah.

Di banyak pesantren tradisional, seorang santri tidak hanya belajar melalui pengajaran formal, tetapi juga melalui proses "nyantri" di mana hubungan antara kiai dan santri menjadi sangat penting. KH. Abdullah Faqih Langitan dikenal sangat dekat dengan guru-gurunya dan sering kali mengembangkan wawasan agama dari pengalaman langsung berdiskusi dengan mereka.

KH. Abdullah Faqih Langitan adalah pendiri dan pengasuh Pesantren Langitan yang terletak di Tuban, Jawa Timur. Pesantren Langitan menjadi tempat yang banyak melahirkan generasi penerus yang berkontribusi besar dalam pengembangan ilmu agama dan pendidikan Islam di Indonesia. Pesantren ini dikenal memiliki metode pengajaran yang mengedepankan penguasaan kitab kuning (kitab-kitab klasik), fiqh, serta akhlak dan tasawuf.

Selain sebagai pengasuh pesantren, beliau juga aktif dalam kegiatan sosial dan dakwah di berbagai daerah. KH. Abdullah Faqih Langitan juga dikenal sebagai seorang ulama yang memiliki kemampuan untuk menggabungkan antara tradisi pesantren dengan perkembangan zaman, membuat ajaran beliau relevan bagi masyarakat modern.

KH. Abdullah Faqih Langitan meninggal pada tahun 1997. Beliau meninggalkan warisan yang sangat besar, baik dalam bidang pendidikan agama maupun dakwah Islam, khususnya di kalangan pesantren dan masyarakat sekitar. Pesantren Langitan yang beliau dirikan terus berkembang hingga saat ini, menjadi tempat penting dalam pengajaran ilmu agama dan pembentukan akhlak para santri.

Profil KH. Mas Subadar

KH. Mas Subadar adalah seorang ulama terkemuka yang dikenal sebagai pengasuh Pondok Pesantren Raudlatul Ulum di Besuk, Pasuruan, Jawa Timur. Beliau lahir pada tahun 1942 di Desa Besuk, Kejayan, Pasuruan, sebagai putra dari pasangan KH. Subadar dan Hj. Maimunah. Pada usia tiga bulan, beliau telah menjadi yatim piatu karena ditinggal wafat ayahanda. Sejak kecil, beliau diasuh dan dididik oleh ibundanya, Hj. Maimunah,yang menjadi panutan dan sumber inspirasi dalam hidupnya.  

Meskipun kehilangan ayah sejak dini, beliau mendapat didikan yang sangat kuat dari ibunya, Hj. Maimunah, yang sangat berperan dalam membentuk karakter dan pendidikannya. Ibundanya menjadi sosok yang sangat berpengaruh dalam kehidupannya, memberikan kasih sayang dan pendidikan yang sangat berharga, terutama dalam pendidikan agama. Ini membuat KH. Mas Subadar memiliki keteguhan dan semangat dalam menuntut ilmu sejak kecil.

Tumbuh dalam lingkungan yang religius, beliau mulai menghafal Al-Qur'an dan belajar berbagai ilmu agama sejak usia dini, yang nantinya membentuknya menjadi seorang ulama yang dihormati di daerahnya.

Dalam menuntut ilmu, KH. Mas Subadar menunjukkan dedikasi yang tinggi. Beliau belajar di berbagai pesantren, termasuk Pesantren Lirboyo di Kediri, di bawah bimbingan KH. Machrus Ali. Di sana, beliau mendalami berbagai cabang ilmu agama dan menjadi santri yang dikenal rajin dan cerdas.

Setelah menikah dengan Nyai Aisyah pada tahun 1969, beliau kembali aktif dalam kegiatan organisasi dan kepemimpinan pesantren. Pada tahun 1976, beliau memimpin Pondok Pesantren Raudlatul Ulum dan menjabat sebagai Rois Syuriah NU Cabang Pasuruan pada tahun 1980. Beliau juga terlibat dalam berbagai kegiatan keagamaan dan sosial di masyarakat, menjadi panutan bagi banyak orang.

KH. Mas Subadar wafat pada Sabtu malam, 30 Juli 2016, pada usia 72 tahun. Kewafatan beliau menjadi momen yang sangat berduka bagi keluarga, santri, dan masyarakat luas, terutama di kawasan Pasuruan dan sekitarnya, di mana beliau dikenal sebagai sosok yang sangat dihormati dan berperan besar dalam dunia pendidikan agama serta kegiatan sosial.

Sebelum meninggal, beliau memang sudah dalam kondisi yang cukup lemah karena faktor usia. Namun, meskipun demikian, beliau tetap menjalani aktivitas keagamaan dan memimpin Pondok Pesantren Raudlatul Ulum dengan penuh dedikasi. KH. Mas Subadar dikenal sebagai sosok yang sangat sederhana, tegas, dan teguh dalam pendirian. Beliau juga sangat dekat dengan para santri dan masyarakat, yang menjadikan kepergiannya sangat dirasakan oleh banyak orang.

Setelah meninggal dunia, jenazah KH. Mas Subadar dimakamkan di kompleks Pondok Pesantren Raudlatul Ulum, yang terletak di Desa Besuk, Kejayan, Pasuruan. Pemakaman beliau di pesantren yang beliau pimpin selama bertahun-tahun ini menjadi simbol pengabdian dan dedikasi beliau dalam dunia pendidikan agama, khususnya di pesantren tersebut.

Kepergian beliau meninggalkan kesan mendalam bagi banyak orang, dan pondok pesantren yang beliau pimpin terus menjadi tempat pendidikan dan pengajaran bagi generasi selanjutnya.


Jaka Tingkir

 Jaka Tingkir, yang juga dikenal dengan nama Sultan Hadiwijaya, adalah salah satu tokoh legendaris dalam sejarah Indonesia, khususnya dalam perkembangan kerajaan Mataram. Ia adalah pendiri Kerajaan Pajang, yang terletak di wilayah Jawa Tengah. Profilnya kaya dengan cerita rakyat dan sejarah yang penuh warna.

Jaka Tingkir diperkirakan lahir sekitar abad ke-16 (sekitar 1520) bertempat di Desa Singosari, Jawa Timur beliau beragama Islam dan memerintah kerajaan Pajang (1568–1582)

Jaka Tingkir awalnya dikenal sebagai seorang pemuda biasa yang lahir di daerah Singosari, Jawa Timur. Nama "Jaka Tingkir" sendiri berasal dari cerita rakyat yang mengisahkan dia sebagai pemuda yang memiliki sifat istimewa, sering dikaitkan dengan kemampuan atau kekuatan supranatural.

Jaka Tingkir memulai perjalanan hidupnya sebagai seorang prajurit yang memiliki keterampilan dan keberanian luar biasa. Salah satu cerita terkenal adalah ketika Jaka Tingkir menantang raja yang saat itu berkuasa, yaitu Sultan Trenggana dari Demak, yang menganggap Jaka Tingkir sebagai ancaman. Namun, kisah yang paling banyak dikenal adalah ketika Jaka Tingkir berhasil merebut takhta kerajaan Pajang setelah mengalahkan raja sebelumnya, Sultan Trenggana.

Pada tahun 1568, Jaka Tingkir berhasil mendirikan Kerajaan Pajang setelah berhasil merebutnya dari tangan Sultan Trenggana. Ia mengganti namanya menjadi Sultan Hadiwijaya setelah diangkat sebagai raja. Pemerintahan Sultan Hadiwijaya mengutamakan stabilitas dan kekuatan militer, serta menjaga hubungan baik dengan kerajaan-kerajaan lain di sekitar Jawa.

Kisah Jaka Tingkir meraih jabatan dan akhirnya menjadi Raja Pajang (Sultan Hadiwijaya) sangat menarik dan penuh dengan unsur perjuangan serta keberanian. Cerita ini beredar dalam berbagai versi, namun secara garis besar, kisahnya melibatkan keberanian, kecerdikan, serta kemampuannya menghadapi berbagai tantangan untuk meraih kekuasaan.

Menurut cerita yang beredar, Jaka Tingkir mulai dikenal setelah berhasil menunjukkan keberanian dan kemampuannya di medan perang. Pada masa itu, kerajaan Demak sedang berada dalam masa kejayaannya dan dipimpin oleh Sultan Trenggana. Namun, terjadi perselisihan di dalam keluarga kerajaan Demak.

Sultan Trenggana, sebagai penguasa Demak, akhirnya terbunuh dalam sebuah peristiwa yang tidak sepenuhnya jelas, dan kerajaan Demak mengalami masa kekosongan kekuasaan. Dalam kekosongan ini, Jaka Tingkir berhasil mengumpulkan kekuatan untuk merebut takhta, yang saat itu dikuasai oleh Pangeran Sambernyawa, yang memiliki hubungan dengan keluarga kerajaan Demak.

Jaka Tingkir diketahui sangat terampil dalam hal strategi dan pertempuran. Dengan bantuan sejumlah pengikut setianya, ia berhasil mengalahkan Pangeran Sambernyawa yang merupakan kandidat raja yang memiliki dukungan besar. Dalam beberapa kisah, disebutkan bahwa Jaka Tingkir menggunakan kecerdikannya dalam merencanakan serangan terhadap Sambernyawa.

Setelah mengalahkan lawannya, Jaka Tingkir dengan cerdik dan hati-hati merencanakan untuk memproklamirkan dirinya sebagai raja. Ia berhasil memperoleh dukungan dari sejumlah tokoh penting yang memiliki pengaruh di Jawa Tengah, termasuk dari kalangan bangsawan dan pasukan.

Setelah berhasil mengalahkan lawannya dan memperoleh dukungan yang luas, Jaka Tingkir dinobatkan menjadi Raja Pajang pada tahun 1568. Pada saat itulah, ia mengganti namanya menjadi Sultan Hadiwijaya. Penobatan ini tidak hanya dihadiri oleh pengikut setianya, tetapi juga mendapat pengakuan dari kerajaan-kerajaan tetangga.

Dalam prosesnya, Jaka Tingkir dikenal tidak hanya sebagai seorang yang berani bertempur, tetapi juga seorang pemimpin yang bijaksana dan berwibawa. Meskipun ia berasal dari latar belakang biasa, ia mampu membuktikan dirinya sebagai pemimpin yang layak memimpin kerajaan dan menjaga stabilitas politik serta sosial di wilayah yang dipimpinnya.

Kerajaan Pajang yang dipimpin oleh Sultan Hadiwijaya adalah salah satu kerajaan yang berperan penting dalam menyatukan wilayah Jawa Tengah dan membantu transisi menuju kerajaan Mataram Islam, yang kemudian dikenal dengan pemerintahan Sultan Agung. Meski Kerajaan Pajang tidak bertahan lama, perjuangan Jaka Tingkir memberi pengaruh besar dalam pembentukan kerajaan Mataram.

KH. Ilyas Ruhiat

Setelah belajar di Cipasung, beliau memperdalam ilmu agama di beberapa pesantren ternama di Jawa Barat dan sekitarnya.

Di pesantren-pesantren tersebut, beliau semakin mendalami ilmu syariat dan pemikiran Islam.Selain menempuh pendidikan di pesantren, KH. Ilyas Ruhiat juga mendapatkan pendidikan formal di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Gunung Djati, Bandung.

Di kampus ini, beliau semakin memperkaya wawasan keislaman dan memperkuat jaringan dengan ulama serta akademisi Islam.Selama perjalanan intelektualnya, KH. Ilyas Ruhiat banyak berguru kepada ulama-ulama besar di Jawa Barat dan luar daerah.

Pemikiran dan keilmuan beliau juga dipengaruhi oleh tradisi Ahlussunnah wal Jama’ah yang kuat dalam lingkungan Nahdlatul Ulama (NU).

Setelah menyelesaikan pendidikannya, KH. Ilyas Ruhiat tidak hanya menjadi ulama besar, tetapi juga berperan sebagai pendidik dan pengasuh Pondok Pesantren Cipasung.

Beliau aktif dalam mengembangkan sistem pendidikan pesantren agar tetap relevan dengan perkembangan zaman.

Mendorong integrasi pendidikan agama dan pendidikan formal agar santri memiliki wawasan luas.

Berkontribusi dalam pembinaan kader-kader ulama NU di tingkat nasional.

KH. Ilyas Ruhiat wafat pada 18 Desember 2007 dalam usia 73 tahun di kediamannya di Pondok Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat.

Beliau meninggal dunia setelah mengalami sakit dalam beberapa waktu sebelumnya. Sebagai seorang ulama besar yang dihormati, kepergiannya meninggalkan duka mendalam bagi keluarga, para santri, masyarakat pesantren, dan warga Nahdlatul Ulama (NU).Jenazah beliau dimakamkan di Kompleks Pemakaman Keluarga Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, tempat di mana ayahnya, KH. Ruhiat, juga dimakamkan.

  • Pemakaman KH. Ilyas Ruhiat dihadiri oleh:
  • Para ulama dan kiai dari berbagai daerah
  • Pimpinan Nahdlatul Ulama (PBNU dan PWNU)
  • Santri dan alumni Pesantren Cipasung
  • Tokoh-tokoh nasional dan masyarakat umum

Ribuan orang dari berbagai kalangan datang untuk memberikan penghormatan terakhir kepada beliau. Prosesi pemakaman berjalan dengan penuh penghormatan dan doa, mencerminkan besarnya jasa dan pengaruh beliau dalam dunia pesantren dan organisasi Islam di Indonesia.

Meski telah wafat, KH. Ilyas Ruhiat meninggalkan warisan besar berupa:

  •  Pendidikan pesantren yang terus berkembang melalui Pondok Pesantren Cipasung.
  •  Pemikiran Islam moderat yang tetap relevan dalam Nahdlatul Ulama dan masyarakat luas.
  •  Kepemimpinan yang menjadi teladan bagi generasi ulama dan santri berikutnya.


Kepergian KH. Ilyas Ruhiat tidak hanya menjadi kehilangan bagi keluarga dan santrinya, tetapi juga bagi umat Islam di Indonesia, terutama warga Nahdlatul Ulama yang mengenang beliau sebagai ulama yang bijak, sederhana, dan penuh dedikasi dalam membimbing umat.

Raden Prabu Kian Santang

Raden Prabu Kian Santang merupakan putra dari Prabu Siliwangi, raja Kerajaan Pajajaran, dan Nyi Rahi Lulut. Ia lahir dalam lingkungan kerajaan yang besar dan berkuasa, yang memberinya pendidikan tinggi dan keterampilan kepemimpinan sejak usia muda. Raden Kian Santang juga memiliki ikatan darah dengan tokoh-tokoh besar lainnya, termasuk dengan Mahapatih Niskala Wastu Kancana, yang menjadi penasihat penting di kerajaan tersebut.

Nama lengkapnya adalah Raden Prabu Kian Santang, tetapi ada juga yang menyebutnya dengan nama Raden Kian Santang atau Prabu Kian Santang. "Kian Santang" sendiri memiliki makna yang mendalam, yakni "Kian" yang berarti terus atau semakin, dan "Santang" yang melambangkan ketenangan, kebijaksanaan, dan keteguhan hati.

Sebagai seorang pahlawan, Raden Kian Santang dikenal memiliki kemampuan bela diri yang luar biasa dan keahlian dalam strategi peperangan. Ia juga dihormati karena keteguhan imannya dan kebijaksanaannya dalam memimpin pasukan dan menjaga keharmonisan kerajaan. Salah satu kisah terkenal adalah ketika ia bertempur melawan musuh-musuh kerajaan dan memenangkan pertempuran besar yang memastikan kelangsungan kerajaan Pajajaran.

Raden Kian Santang sering dikaitkan dengan berbagai cerita mistis dan legenda. Salah satunya adalah kisah perjalanannya untuk mencari ilmu dan penguatan spiritual di Gunung Sanggabuana, di mana ia bertemu dengan berbagai tokoh dan makhluk gaib yang menguji keberaniannya. Selain itu, ia juga dikenal karena hubungan dekatnya dengan para tokoh agama dan spiritual, seperti Wali Songo, yang turut mempengaruhi pandangannya mengenai keagamaan dan kehidupan.

Selain menjadi pahlawan yang berjasa dalam melindungi kerajaan, ia juga dikaitkan dengan pembangunan budaya Sunda, serta nilai-nilai luhur yang diwariskan kepada generasi berikutnya. Sebagai seorang pemimpin, Raden Kian Santang mengajarkan pentingnya kebijaksanaan, keberanian, dan tanggung jawab dalam memimpin.

Peninggalan Raden Prabu Kian Santang, meskipun tidak sekuat peninggalan fisik seperti candi atau bangunan besar, tetap dapat ditemukan dalam berbagai bentuk budaya dan cerita yang diwariskan secara turun-temurun oleh masyarakat Sunda. Berikut adalah beberapa peninggalan yang dikaitkan dengan Raden Prabu Kian Santang:

1. Cerita Rakyat dan Legenda

Peninggalan paling nyata dari Raden Prabu Kian Santang adalah cerita-cerita rakyat yang menceritakan tentang kepahlawanan, kebijaksanaan, dan perjuangannya. Kisah-kisah ini terus diceritakan melalui berbagai bentuk seni seperti sastra, wayang golek, dan tradisi lisan di kalangan masyarakat Sunda. Cerita-cerita ini tidak hanya menggambarkan dirinya sebagai pahlawan fisik, tetapi juga sebagai simbol nilai-nilai moral dan spiritual yang tinggi.

2. Situs Sejarah dan Tempat yang Dihormati

Beberapa tempat di Jawa Barat, khususnya di sekitar daerah Priangan, sering dikaitkan dengan perjalanan hidup dan kisah Raden Prabu Kian Santang. Salah satunya adalah Gunung Sanggabuana, yang dalam cerita rakyat dipercaya sebagai tempat di mana Raden Kian Santang melakukan pencarian ilmu dan bertemu dengan tokoh-tokoh gaib. Gunung ini menjadi salah satu situs yang dihormati oleh masyarakat Sunda karena kaitannya dengan tokoh legendaris tersebut.

3. Prabu Siliwangi dan Kerajaan Pajajaran

Raden Prabu Kian Santang adalah putra dari Prabu Siliwangi, raja legendaris dari Kerajaan Pajajaran. Banyak peninggalan sejarah dan budaya Kerajaan Pajajaran yang tetap ada, meskipun kerajaan itu sudah runtuh. Misalnya, Candi Cangkuang dan Candi Padalarang, yang merupakan peninggalan budaya yang erat kaitannya dengan masa kejayaan kerajaan Sunda. Walaupun bukan peninggalan langsung dari Raden Kian Santang, situs-situs ini mengingatkan kita pada zaman di mana ia hidup dan berjuang.

4. Wujud dalam Kesenian dan Pertunjukan

Peninggalan lainnya bisa ditemukan dalam kesenian tradisional Sunda seperti wayang golek dan tari-tarian, di mana tokoh Raden Kian Santang sering dijadikan bagian dari cerita atau pertunjukan. Dalam wayang golek, ia sering digambarkan sebagai seorang pahlawan yang memiliki kebijaksanaan dan kekuatan, serta hubungan dengan dunia spiritual. Peninggalan budaya ini terus hidup dan berkembang hingga kini.

5. Nama Tempat dan Monumen

Beberapa daerah di Jawa Barat mengadopsi nama-nama yang terkait dengan Raden Kian Santang, baik dalam nama desa, gunung, atau tempat-tempat bersejarah yang dianggap memiliki kaitan dengan kehidupannya. Monumen atau prasasti yang mengingatkan kita akan tokoh-tokoh legendaris seperti Kian Santang juga sering dibangun oleh masyarakat untuk mengenang perjuangan mereka.

6. Ajaran Moral dan Filosofi

Selain peninggalan fisik, salah satu warisan terbesar dari Raden Kian Santang adalah ajaran moral dan filosofinya, terutama yang berkaitan dengan kepemimpinan, keberanian, dan keagamaan. Ajaran-ajaran tersebut menjadi pedoman bagi banyak pemimpin dan masyarakat Sunda dalam kehidupan mereka sehari-hari. Nilai-nilai yang ia tinggalkan sangat menginspirasi dan dianggap sebagai panduan hidup yang penuh kebijaksanaan.

Tidak banyak yang diketahui pasti tentang akhir kehidupan Raden Prabu Kian Santang. Namun, cerita-cerita dalam legenda menyebutkan bahwa ia akhirnya meninggalkan dunia fana untuk berguru lebih dalam tentang kehidupan spiritual dan ketuhanan. Ia menjadi simbol perjuangan dan keberanian dalam sejarah Sunda.

Warisan yang ditinggalkannya tidak hanya terbatas pada cerita-cerita kepahlawanan, tetapi juga pada ajaran moral dan spiritual yang sangat dihargai oleh masyarakat Sunda. Hingga kini, namanya masih dikenang sebagai tokoh yang penuh inspirasi bagi banyak orang di tanah Pasundan.

KH. Ahmad Djazuli Utsman, Pendiri PP. Al Falah Ploso Kediri Jawa Timur

KH. Ahmad Djazuli Utsman, Pendiri PP. Al Falah Ploso Kediri yang mempunyai julukan Sang Blawong Pewaris Keluhuran. Nama asli beliau adalah Mas’ud. Julukan tersebut diberikan oleh KH. Zainuddin. Kelak dikemudian hari ia lebih dikenal dengan nama KH. Achmad Djazuli Utsman, pendiri dan pengasuh pertama Pondok Pesantren Al-Falah , Ploso, Kediri.

Ia lahir di awal abad XIX, tepatnya tanggal 16 Mei 1900 M. Ia adalah anak Raden Mas M. Utsman seorang Onder Distrik (penghulu kecamatan). Sebagai anak bangsawan, Mas’ud beruntung, karena ia bisa mengenyam pendidikan sekolah formal seperti SR, MULO, HIS bahkan sampai dapat duduk di tingkat perguruan tinggi STOVIA (Fakultas Kedokteran UI sekarang) di Batavia.

Belum lama Mas’ud menempuh pendidikan di STOVIA, tak lama berselang Pak Naib, demikian panggilan akrab RM. Utsman kedatangan tamu, KH. Ma’ruf (Kedunglo) yang dikenal sebagai murid Kyai Kholil, Bangkalan (Madura).

Mas’ud mengawali rihlah ilmiyahnya dengan di pesantren Gondanglegi Nganjuk yang diasuh oleh KH. Ahmad Sholeh. Di pesantren ini ia mendalami ilmu-ilmu yang berkaitan dengan Al-Qur’an, khususnya tajwid dan kitab Jurumiyah yang berisi gramatika Arab dasar (Nahwu) selama 6 bulan. 

Setelah menguasai ilmu Nahwu, Mas’ud yang dikenal sejak usia muda itu gemar menuntut ilmu kemudian memperdalam pelajaran tashrifan (ilmu Shorf) selama setahun di Pondok Sono (Sidoarjo). Ia juga sempat mondok di Sekarputih, Nganjuk yang diasuh KH. Abdul Rohman. Hingga akhirnya ia nyantri ke pondok yang didirikan oleh KH. Ali Imron di Mojosari, Nganjuk yang pada waktu itu diasuh oleh KH. Zainuddin. Kiai Zainuddin Mojosari dikenal banyak melahirkan ulama besar, diantaranya adalah KH. Abdul Wahhab Hasbullah (Pendiri NU dan Rais Am setelah KH. Hasyim Asy’ari), Mas’ud yang waktu itu telah kehabisan bekal untuk tinggal di dalam pondok kemudian mukim di langgar pucung (musala yang terletak tidak jauh pondok). 

Selama di Pondok Mojosari, Mas’ud hidup sangat sederhana. Bekal lima rupiah sebulan, dirasa sangat jauh dari standar kehidupan santri yang pada waktu itu rata-rata Rp 10,-. Setiap hari, ia hanya makan satu lepek (piring kecil) dengan lauk pauk sayur ontong (jantung) pisang atau daun luntas yang dioleskan pada sambal kluwak. Sungguh jauh dikatakan nikmat apalagi lezat.

Di tengah kehidupan yang makin sulit itu, Pak Naib Utsman, ayah tercinta meninggal. Untuk menopang biaya hidup di pondok, Mas’ud membeli kitab-kitab kuning yang masih kosong lalu ia memberi makna yang sangat jelas dan mudah dibaca. Satu kitab kecil semacam Fathul Qorib, ia jual Rp 2,5,-(seringgit), hasil yang lumayan untuk membiayai hidup selama 15 hari di pondok itu.

Setelah sempat mondok di Mojosari, Mas’ud berangkat haji sekaligus menuntut ilmu langsung di Mekkah. H. Djazuli, demikian nama panggilan namanya setelah sempurna menunaikan ibadah haji. Selama di tanah suci, ia berguru pada Syeikh Al-‘Alamah Al-Alaydrus di Jabal Hindi. Namun, ia di sana tidak begitu lama, hanya sekitar dua tahun saja, karena ada kudeta yang dilancarkan oleh kelompok Wahabi pada tahun 1922 yang diprakasai Pangeran Abdul Aziz As-Su’ud. 

Di tengah berkecamuknya perang saudara itu, H. Djazuli bersama 5 teman lainnya berziarah ke makam Rasulullah SAW di Madinah. Sampai akhirnya H. Djazuli dan kawan-kawannya itu ditangkap oleh pihak keamanan Madinah dan dipaksa pulang lewat pengurusan konsulat Belanda.

Sepulang dari tanah suci, Mas’ud kemudian pulang ke tanah kelahirannya, Ploso dan hanya membawa sebuah kitab yakni Dalailul Khairat. Selang satu tahun kemudian, 1923 ia meneruskan nyantri ke Tebuireng Jombang untuk memperdalam ilmu hadits di bawah bimbingan langsung Hadirotusy Syekh KH. Hasjim Asya’ri.

Tatkala H. Djazuli sampai di Tebuireng dan sowan ke KH. Hasjim Asya’ri untuk belajar, Hadrotusy Syekh sudah tahu siapa Djazuli yang sebenarnya, ”Kamu tidak usah mengaji, mengajar saja di sini.” H. Djazuli kemudian mengajar Tafsir Jalalain, bahkan ia kerap mewakili Tebuireng dalam bahtsul masa’il (seminar) yang diselenggarakan di Kenes, Semarang, Surabaya dan sebagainya. 

Setelah dirasa cukup, ia kemudian melanjutkan ke Pesantren Tremas yang diasuh KH. Ahmad Dimyathi (adik kandung Syeikh Mahfudz Attarmasiy). Tak berapa lama kemudian ia pulang ke kampung halaman, Ploso. Sekian lama H. Djazuli menghimpun “air keilmuan dan keagamaan”. Ibarat telaga, telah penuh. Saatnya mengalirkan air ilmu pegetahuan ke masyarakat.

Sampai di akhir hayat, KH. Ahmad Djazuli Utsman dikenal istiqomah dalam mengajar kepada santri-santrinya. Saat memasuki usia senja, Kyai Djazuli mengajar kitab Al-Hikam (tasawuf) secara periodik setiap malam Jum’at bersama KH. Abdul Madjid dan KH. Mundzir. Bahkan sekalipun dalam keadaan sakit, beliau tetap mendampingi santri-santri yang belajar kepadanya. Riyadloh yang beliau amalkan memang sangat sederhana namun mempunyai makna yang dalam. Beliau memang tidak mengamalkan wiridan-wiridan tertentu. Thoriqoh Kyai Djazuli hanyalah belajar dan mengajar “Ana thoriqoh ta’lim wa ta’allum” ,dawuh beliau berulangkali kepada para santri.

Hadratus Syaikh KH. A. Djazuli Utsman menghadap kepada yang kuasa pada jam 15.30 wib hari Sabtu wage 10 januari 1976 bertepatan dengan 10 Muharam 1396 H.

Sumber : alfalahploso

Biografi Kanjeng Mas Raden Tumenggung Soebroto

Pencak Silat merupakan seni bela diri tradisional yang berasal dari Indonesia. Salah satu organisasi pencak silat yang terkenal adalah Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT), yang didirikan oleh Kanjeng Mas Raden Tumenggung (KMR) Soebroto pada tahun 1922 di Madiun, Jawa Timur.

Kanjeng Mas Raden Tumenggung Soebroto Lahir pada tanggal 23 Februari 1897 di  Madiun, Jawa Timur.

Beliau Wafat pada tahun 1972, Makam Kanjeng Mas Raden Tumenggung Soebroto terletak di Madiun, Jawa Timur. Tepatnya, makamnya berada di kawasan desa yang dekat dengan tempat ia dilahirkan dan mengembangkan PSHT. Makamnya menjadi salah satu tempat ziarah bagi anggota PSHT dan masyarakat yang menghormatinya sebagai pendiri dan pelopor pencak silat.

KMR Soebroto lahir dari keluarga yang menjunjung tinggi nilai-nilai seni dan budaya. Sejak kecil, ia sudah terpapar dengan berbagai ajaran seni bela diri. Ia sangat tertarik pada pencak silat dan mengembangkan teknik-teknik bela diri yang efisien dan efektif.

Pada tahun 1922, Soebroto mendirikan PSHT sebagai wadah untuk melestarikan dan mengembangkan seni bela diri pencak silat. PSHT bukan hanya mengajarkan teknik-teknik bertarung, tetapi juga menanamkan nilai-nilai moral dan etika kepada para anggotanya, seperti disiplin, kesopanan, dan persaudaraan.

KMR Soebroto mengajarkan bahwa pencak silat bukan hanya tentang kekuatan fisik, tetapi juga tentang pengendalian diri dan pengembangan karakter. Melalui PSHT, ia berusaha menjadikan pencak silat sebagai alat untuk membangun jati diri dan meningkatkan kepercayaan diri masyarakat.

PSHT berkembang pesat dan memiliki banyak cabang di seluruh Indonesia dan bahkan di luar negeri. Hingga saat ini, organisasi ini terus melestarikan ajaran dan nilai-nilai yang diajarkan oleh KMR Soebroto. Dia dikenang sebagai tokoh yang tidak hanya mengembangkan seni bela diri, tetapi juga sebagai sosok yang memperkuat persatuan dan kesatuan di antara anggotanya.

Kanjeng Mas Raden Tumenggung Soebroto tetap dihormati dan dikenang sebagai pelopor dan pendiri PSHT, yang telah berkontribusi besar dalam perkembangan pencak silat di Indonesia.

profil Singkat Nur Cholis Majid

Nur Cholis Majid, lahir pada 17 Maret 1953, adalah seorang cendekiawan Muslim, sastrawan, dan pemikir terkemuka di Indonesia. Ia dikenal luas sebagai intelektual yang banyak berkontribusi dalam bidang agama, sosial, dan kebudayaan.

Majid menempuh pendidikan di beberapa institusi, termasuk Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, dan melanjutkan studi di luar negeri, khususnya di Al-Azhar, Mesir. Ia banyak menulis tentang isu-isu kontemporer yang berkaitan dengan Islam, termasuk pluralisme, toleransi, dan demokrasi.

Sebagai seorang sastrawan, Nur Cholis Majid juga dikenal melalui karya-karyanya yang menggugah, baik dalam bentuk esai, cerpen, maupun puisi. Ia aktif dalam dunia literasi dan sering terlibat dalam diskusi-diskusi publik mengenai pemikiran Islam dan masalah-masalah sosial.

Majid juga pernah menjabat dalam berbagai organisasi, termasuk menjadi anggota di Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ia sering kali menyuarakan pentingnya moderasi dalam beragama dan pentingnya dialog antarumat beragama.

Nur Cholis Majid adalah sosok yang dihormati sebagai pemikir yang berupaya menjembatani tradisi dan modernitas dalam konteks masyarakat Indonesia yang majemuk. Karya dan pemikirannya terus memberikan inspirasi bagi banyak orang hingga saat ini.

Nur Cholis Majid wafat pada 28 September 2021. Ia meninggalkan warisan pemikiran dan karya yang terus dikenang dan dihargai dalam dunia intelektual dan sastra Indonesia.

Nur Cholis Majid dimakamkan di TPU Pondok Ranggon, Jakarta Timur. Makamnya menjadi tempat ziarah bagi banyak orang yang menghormati kontribusinya dalam dunia pemikiran dan sastra di Indonesia.

Profil Singkat Buya Hamka

 Buya Hamka, atau Haji Abdul Malik Karim Amrullah, lahir pada 17 Februari 1908 di Tanah Datar, Sumatera Barat. Ia adalah seorang ulama, sastrawan, dan aktivis yang sangat berpengaruh di Indonesia. Buya Hamka dikenal sebagai tokoh yang memperjuangkan pendidikan Islam dan kebangkitan umat Islam di Indonesia.

Sejak muda, Hamka telah menekuni dunia literasi dan dakwah. Ia menulis banyak karya, baik dalam bentuk novel, puisi, dan esai. Salah satu karyanya yang terkenal adalah novel "Tenggelamnya Kapal Van der Wijck," yang menggambarkan konflik budaya dan sosial di masyarakat Minangkabau.

Buya Hamka juga aktif dalam organisasi Islam, seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Ia menjabat sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan turut berkontribusi dalam berbagai gerakan sosial dan politik di tanah air. Selain itu, Hamka dikenal sebagai seorang orator ulung dan pemikir yang moderat.

Sepanjang hidupnya, Buya Hamka berupaya untuk mengharmoniskan antara ajaran agama dan perkembangan zaman. Ia wafat pada 24 Juli 1981 di Jakarta, meninggalkan warisan pemikiran dan karya yang masih relevan hingga kini. Sebagai tokoh penting dalam sejarah Indonesia, Buya Hamka dikenang sebagai seorang intelektual yang mencintai bangsa dan agama.

Kisah Sahabat: Abu Bakar Ash-Shiddiq

Profil Singkat Nama lengkap: Abdullah bin Abi Quhafah Gelar: Ash-Shiddiq (yang membenarkan) Lahir: 573 M di Mekah Wafat: 634 M di Madinah Ke...